Love Letters Buat Kamu dan Kamu

Hai kamu. Dan kamu.

Don't be surprised kalo tiba-

tiba saya nulis surat seperti ini

buat kamu, dan kamu.


Well... yeah... so last-decade

memang kirim surat kayak

gini. Sebenernya writing letters

isn't really my thing dan

mungkin buatmu gak terlalu

penting. Jadi biarpun aku

bakal pusing tujuh keliling,

hingga kening keriting, i

promise you i,ll try my best

untuk membuat surat ini

tidak terdengar seperti kiasan

cheesy soal cinta di kartu

Valentine yang dicetak masal.


by Rakhmawati Fitri

Rabu, 08 Mei 2013

Potret Wanita-wanita PKL



Ketika wanita mulai menjunjung tinggi emansipasinya, banyak  dari mereka yang membantu perekonomian keluarga bahkan menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Hingga wanita yang rela membanting tulang demi perekonomian keluarga tersebut sering dijuluki srikandi, karena memang sifat srikandi yang gigih dan ulet. Fenomena ini juga ada di Jember terutama di daerah kampus, dan memang banyak lapangan pekerjaan yang menjadi pilihan salah satunya adalah pedagang kaki lima (PKL). Srikandi-srikandi sang penguasa resep rahasia makanan dari tangan mereka, sangat pandai memanfaatkan peluang usaha di bumi Tegal Boto ini. Kebanyakan dari mereka menguasai resep masakan yang berhubungan dengan ulek-ulek seperti rujak, tahu tek, gado-gado dan masih banyak lagi.


Tutirah wanita berusia 52 tahun ini misalnya, serta merta turut membantu perekonomian keluarganya melalui PKL dengan berjualan rujak khas Banyuwangi di jalan Kalimantan. Srikandi satu ini berkecimpung dengan cobek, ulekan, serta celemek usang yang dikenakannya setiap hari selama 25 tahun terakhir. “Dulu sebelum ada jembatan Semanggi, ibu jalan kaki dari pasar Tanjung ke sini mas. Terpaksa wes ibu nekat,” ujarnya dengan logat Osing, sambil meracik tempe, tahu, dan sayuran di cobek tuanya.


Dulunya wanita asal Banyuwangi ini bekerja membantu perekonomian keluarganya karena keterbatasan ekonomi semenjak suaminya bekerja serabutan. Dan hingga saat ini dialah yang menjadi tulang punggung keluarganya karena sang suami mulai sakit-sakitan hingga tak mampu bekerja mencari nafkah. Wanita beranak dua ini mengaku selalu menjaga kualitas rasa dari masakannya hingga menjadikan pelanggan terkesan oleh cita rasa yang diciptakannya. “Dulu pelanggan ibuk yang mahasiswa sekarang anaknya juga sudah mahasiswa. Ibuk terkenal sampek sekarang banyak yang bilang rujaknya ibuk masih tetep kayak dulu.” Ujarnya sambil tersenyum ramah. Walaupun dari hasil kerja kerasnya selama ini belum bisa mencapai impiannya yaitu membuat rumah, tapi setidaknya dia sudah berjuang demi pendidikan kedua anaknya hingga tamat SMA dan bisa membeli sepeda motor.


Jika Tutirah bekerja demi membantu perekonomian keluarga, berbeda dengan kisah srikandi satu ini. Saiful namanya, wanita 55 tahun yang berjualan tahu tek di Jalan Bangka dari tahun 2010 sampai sekarang. Dalam perjalanan kariernya, pada tahun 2001 dia pernah berjualan tahu tek di Fakultas MIPA. Karena urusan internal dari pusat yang tidak mengijinkan warung yang tidak memiliki tempat khusus, akhirnya ia berhenti pada tahun 2007 dan melanjutkan kariernya sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Pada tahun 2010 dia kembali melanjutkan kariernya yaitu berdagang tahu tek dan menetap di Jalan Bangka. Kegigihannya dalam mencari nafkah sangatlah berkobar. Dia mau berjualan apapun jika tak ada kendala. Tapi apadaya tempat untuk PKL sudah penuh dan sulit didapatkan. “Sebenarnya saya kepingin jualan lagi yang lain tapi mana tempatnya? Nggak ada tempatnya. Kalau pingin punya tempat itu pasti beli,” dengan nada kecewa, ujar wanita berlogat Madura ini.


Lain lagi dengan Mariyati, penjual pecel madiun  yang sering bertempat di Jalan Jawa. Dalam kariernya dia sangat menjunjung tinggi emansipasi dalam hal perekonomian keluarganya, hingga pekerjaannya yaitu berdagang pecel madiun itu semua atas kemauannya sendiri. Wanita berusia tiga puluh tahun ini menggunakan kesempatan bekerja yang diberikan kebebasan oleh suaminya. “Katanya suami saya gini, kalau sampeyan pingin bekerja nggak papa kalau nggak mau kerja ya nggak papa, bilang gitu. Ya sudah mas saya manfaatkan,” ujarnya dengan mantap. 

Fenomena tersebut banyak di sekitar kita. Lalu bagaimana kajian antropologinya? Saya berkesempatan mengobrol tentang perekonomian wanita-wanita PKL dengan Kusnadi selaku dosen Antropologi Fakultas Sastra, Universitas Jember.


Menurut Kusnadi, di dalam masyarakat mengenal dengan sistem gender. Sistem gender adalah sistem yang mengatur tentang pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki menurut persepsi kebudayaan masyarakat yang disampaikan. Konstruksi sosial yang dibuat untuk masyarakat sendiri untuk mendefinisikan bagaimana perempuan dan laki-laki berperan dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu, dan setiap kelompok masyarakat berbeda persepsinya.


Sedangkan di Jember sendiri mobilisasi seluruh sumber daya keluarga justru dituntut karena kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi. Jadi konstruksi gender yang sebelumnya konserfatif akan menjadi cair atau fleksibel karena tekanan ekonomi dari luar lebih hebat daripada kondisi di dalam. “Saya kira di perkotaan (Jember. Red) jauh lebih cair. Artinya perempuan tidak harus berkiblat pada kodratnya harus ngurus keluarga dan anak-anak, karena tekanan ekonomi di kota berbeda dengan di desa, ” ujar Kusnadi saat saya wawancarai di ruangannya. “Jadi hampir semua keluarga-keluarga yang terlibat disektor informal (seperti wiraswasta. Red) baik suami atau istri itu karena faktor ekonomi sangat mendominasi dikehidupan mereka. Dan itu biasa, sangat wajar,” tutupnya. []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar