Love Letters Buat Kamu dan Kamu

Hai kamu. Dan kamu.

Don't be surprised kalo tiba-

tiba saya nulis surat seperti ini

buat kamu, dan kamu.


Well... yeah... so last-decade

memang kirim surat kayak

gini. Sebenernya writing letters

isn't really my thing dan

mungkin buatmu gak terlalu

penting. Jadi biarpun aku

bakal pusing tujuh keliling,

hingga kening keriting, i

promise you i,ll try my best

untuk membuat surat ini

tidak terdengar seperti kiasan

cheesy soal cinta di kartu

Valentine yang dicetak masal.


by Rakhmawati Fitri

Selasa, 16 September 2014

Arti Sebuah 'Kosan Bebas' Di Jember

Sering sekali aku mendengar “Kosanmu bebas gak?” dan jujur aku sulit mendefinisikan makna ‘kosan bebas’ yang sesungguhnya. Karena pada dasarnya yang dimaksud ‘kosan bebas’ di setiap daerah itu berbeda-beda. Begitu pula pendapat kaum laki-laki dan perempuan juga berbeda dalam menanggapi makna ‘kosan bebas’. Berikut saya uraikan sedikit tentang perbedaan ‘kosan bebas’ antardaerah.

Bali. Kosan di Bali (daerah Denpasar) sistemnya menyewa kamar per tahun. Listrik, air, TV kabel, wifi, telepon rumah, dll bayar sendiri dan pasang sendiri. Jadi gak ada ceritanya tuh pemadaman dadakan gara-gara tetangga kamar sebelah menanak nasi pake rice cooker, karena kosan di Denpasar setiap kamarnya sudah ada meteran listrik dan meteran air sendiri-sendiri. Selain itu kosan di sana tidak mengenal pengelompokan kosan berdasarkan jenis kelamin. Jadi kalau ada plat bertuliskan ‘terima kos’ bertengger di pagar, ya siapapun boleh menyewa.



Ada secuil cerita dari kakakku yang dulu pernah kuliah di Bali. Ia mengatakan bahwa kosannya dulu sangat bebas dalam artian diperbolehkan kumpul kebo dengan syarat-syarat tertentu. “Kalian kumpul kebo gak masalah yang penting kenalkan dulu pacarmu sama ibu takutnya jika nanti ada apa-apa ibu bisa memburu cowokmu untuk diminta pertanggung jawaban. Tapi kalau enggak ya itu urusan kamu.” Ujar pemilik kosan yang disampaikan kakakku. Dan menurutnya tidak ada yang memanfaatkan ’kesempatan’ itu. Semua normal-normal saja, tidak ada masalah dalam pergaulan.

Berbeda lagi dengan sistem kosan di Banyuwangi. Jika di Banyuwangi khususnya di daerah kampus UBI Banyuwangi, sistemnya adalah sewa rumah. Artinya jika mau kos di sana sistemnya seperti ngontrak rumah dan biayanya ditanggung bersama. Pemilik rumah hanya menyediakan rumah dan fasilitasnya seperti TV, mesin cuci, kulkas, AC, dll. sedangkan listrik dan air ditanggung penyewa. Harga kosan di sana relatif tergantung berapa banyak penghuni. Semakin banyak penghuni maka semakin murah biaya sewa kosnya karena ditanggung bersama. Karena sistem kosnya bukan seperti kosan pada umumnya malah cenderung seperti kontrakkan, maka tetanggaku dan teman-teman ibuku banyak yang membeli property di sana untuk berinvestasi.

Bedanya sistem ngontrak di Jember dan Banyuwangi, kalau Jember yang diajak ngontrak hanya teman-temannya saja. Namun kalau di Banyuwangi siapapun boleh tergantung kesepakatan. Di sana tak ada larangan jika teman lawan jenisnya berkunjung asalkan sopan. Sopan dalam artian tidak mengganggu tetangga dan bu RT, seperti bergurau keras-keras, menyetel musik keras-keras dll. Jadi makna ‘kosan bebas’ di sana adalah bebas dari gedoran bu RT yang cerewet, mungkin itu.

Lain halnya jika di Jember. Mayoritas sistem kosan di Jember sangat ketat apalagi pengelompokan berdasarkan jenis kelamin. Sangat jelas sekali tulisan di plat pagar yang bertuliskan ‘Terima Kos Putra’ atau ‘Terima Kos Putri’ setelah masuk di berandanya lebih jelas lagi terpampang ‘cowok dilarang masuk’ atau ‘cewek dilarang masuk’. Sebuah tulisan yang tak asing di area pondok pesantren. Apakah hal tersebut menjadi masalah? nyatanya tidak. Sudah dari dulu sistem kosan Jember seperti itu dan hingga sekarang tak ada perubahan sistem karena sudah terlanjur terikat dengan adat dimana latar belakang Jember adalah kota santri.


Dari sistem yang terikat seperti itu, maka munculah suatu kata yang mewakili gerakan kontra jiwa kawula muda yang ingin melawan sistem kosan yang dianggapnya konservatif hingga melahirkan kata ‘kosan bebas’ yang penuh arti (ngomong apa sih?). Intinya kata ‘kosan bebas’ muncul karena kosan di Jember tidak bebas. Tidak bebas dalam artian temen cewek dilarang maen ke kamar cowok dan adanya batasan jam malam, Aturan tersebut yang mendominasi timbulnya kosan yang ‘tidak bebas’.

Dan uniknya mahasiswa dan mahasiswi yang kuliah di Jember berbeda pendapat saat ditanya maksud ‘kosan bebas’. Menurut para cowok nih ‘kosan bebas’ artinya kosan yang bebas yang boleh membawa cewek masuk ke kamar. Dan menurut para cewek ’kosan bebas’ adalah kosan yang bebas dari jam malam, atinya pulang pukul berapapun boleh. Dan kenyataannya ada yang menjadikan syarat utama dalam mencari kosan baru harus ‘bebas’ terutama cowok-cowok. Hal tersebut banyak permintaan dari forum info kos dan kontrakan Jember di facebook. https://www.facebook.com/groups/328349143894149/

Makna ‘kosan bebas’ yang berbeda-beda di setiap daerah itulah yang membuatku binggung. “Val kosanmu bebas nggak?” tanya Iqbal. “Bebas maksudnya? Bebas ngaji ya?” tanyaku memastikan. Dari percakapanku dengan Iqbal si cowok terong-terongan asal Situbondo salah satu bukti misunderstand tentang makna ‘kosan bebas’. Aku yakin terong-terongan asal SItubondo tersebut menganggapku cowok paling kotrok, gak gaul, gak hip-hop masa nggak ngerti kosan bebas sih, begitu pikirnya.

“Hahaha!!! Ya bebas boleh bawa cewek ke dalem!” ujar Iqbal sambil tertawa ringan ingin mencairkan suasana namun terdengar ironis.

“Oh gitu. Kosanku boleh kok cewek maen-maen ke kamar!” ujarku dengan santai.


“Iya tah? Kosanmu daerah mana? Ada kamar kosong gak?” kata Iqbal sambil terus berharap hingga membabi buta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar