Ketika wanita
mulai menjunjung tinggi emansipasinya, banyak dari mereka yang membantu
perekonomian keluarga bahkan menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Hingga
wanita yang rela membanting tulang demi perekonomian keluarga tersebut sering
dijuluki srikandi, karena memang sifat srikandi yang gigih dan ulet. Fenomena
ini juga ada di Jember terutama di daerah kampus, dan memang banyak lapangan
pekerjaan yang menjadi pilihan salah satunya adalah pedagang kaki lima (PKL).
Srikandi-srikandi sang penguasa resep rahasia makanan dari tangan mereka,
sangat pandai memanfaatkan peluang usaha di bumi Tegal Boto ini. Kebanyakan
dari mereka menguasai resep masakan yang berhubungan dengan ulek-ulek seperti
rujak, tahu tek, gado-gado dan masih banyak lagi.
Tutirah wanita
berusia 52 tahun ini misalnya, serta merta turut membantu perekonomian
keluarganya melalui PKL dengan berjualan rujak khas Banyuwangi di jalan
Kalimantan. Srikandi satu ini berkecimpung dengan cobek, ulekan, serta celemek
usang yang dikenakannya setiap hari selama 25 tahun terakhir. “Dulu sebelum ada
jembatan Semanggi, ibu jalan kaki dari pasar Tanjung ke sini mas.
Terpaksa wes ibu nekat,” ujarnya dengan logat Osing, sambil
meracik tempe, tahu, dan sayuran di cobek tuanya.
Dulunya wanita
asal Banyuwangi ini bekerja membantu perekonomian keluarganya karena
keterbatasan ekonomi semenjak suaminya bekerja serabutan. Dan hingga saat ini
dialah yang menjadi tulang punggung keluarganya karena sang suami mulai
sakit-sakitan hingga tak mampu bekerja mencari nafkah. Wanita beranak dua ini
mengaku selalu menjaga kualitas rasa dari masakannya hingga menjadikan
pelanggan terkesan oleh cita rasa yang diciptakannya. “Dulu pelanggan ibuk yang
mahasiswa sekarang anaknya juga sudah mahasiswa. Ibuk terkenal sampek sekarang
banyak yang bilang rujaknya ibuk masih tetep kayak dulu.”
Ujarnya sambil tersenyum ramah. Walaupun dari hasil kerja kerasnya selama ini
belum bisa mencapai impiannya yaitu membuat rumah, tapi setidaknya dia sudah
berjuang demi pendidikan kedua anaknya hingga tamat SMA dan bisa membeli sepeda
motor.
Jika Tutirah
bekerja demi membantu perekonomian keluarga, berbeda dengan kisah srikandi satu
ini. Saiful namanya, wanita 55 tahun yang berjualan tahu tek di Jalan Bangka
dari tahun 2010 sampai sekarang. Dalam perjalanan kariernya, pada tahun 2001
dia pernah berjualan tahu tek di Fakultas MIPA. Karena urusan internal dari
pusat yang tidak mengijinkan warung yang tidak memiliki tempat khusus, akhirnya
ia berhenti pada tahun 2007 dan melanjutkan kariernya sebagai tenaga kerja
wanita (TKW). Pada tahun 2010 dia kembali melanjutkan kariernya yaitu berdagang
tahu tek dan menetap di Jalan Bangka. Kegigihannya dalam mencari nafkah
sangatlah berkobar. Dia mau berjualan apapun jika tak ada kendala. Tapi apadaya
tempat untuk PKL sudah penuh dan sulit didapatkan. “Sebenarnya saya kepingin jualan
lagi yang lain tapi mana tempatnya? Nggak ada tempatnya.
Kalau pingin punya tempat itu pasti beli,” dengan nada kecewa,
ujar wanita berlogat Madura ini.
Lain lagi
dengan Mariyati, penjual pecel madiun yang sering bertempat di Jalan
Jawa. Dalam kariernya dia sangat menjunjung tinggi emansipasi dalam hal
perekonomian keluarganya, hingga pekerjaannya yaitu berdagang pecel madiun itu
semua atas kemauannya sendiri. Wanita berusia tiga puluh tahun ini menggunakan
kesempatan bekerja yang diberikan kebebasan oleh suaminya. “Katanya suami saya
gini, kalau sampeyan pingin bekerja nggak papa kalau nggak mau
kerja ya nggak papa, bilang gitu. Ya sudah mas saya
manfaatkan,” ujarnya dengan mantap.
Fenomena
tersebut banyak di sekitar kita. Lalu bagaimana kajian antropologinya? Saya
berkesempatan mengobrol tentang perekonomian wanita-wanita PKL dengan Kusnadi
selaku dosen Antropologi Fakultas Sastra, Universitas Jember.
Menurut
Kusnadi, di dalam masyarakat mengenal dengan sistem gender. Sistem gender
adalah sistem yang mengatur tentang pembagian kerja antara perempuan dan
laki-laki menurut persepsi kebudayaan masyarakat yang disampaikan. Konstruksi
sosial yang dibuat untuk masyarakat sendiri untuk mendefinisikan bagaimana
perempuan dan laki-laki berperan dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu, dan setiap
kelompok masyarakat berbeda persepsinya.
Sedangkan di
Jember sendiri mobilisasi seluruh sumber daya keluarga justru dituntut karena
kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi. Jadi konstruksi gender yang sebelumnya
konserfatif akan menjadi cair atau fleksibel karena tekanan ekonomi dari luar
lebih hebat daripada kondisi di dalam. “Saya kira di perkotaan (Jember. Red)
jauh lebih cair. Artinya perempuan tidak harus berkiblat pada kodratnya harus ngurus keluarga dan anak-anak, karena tekanan
ekonomi di kota berbeda dengan di desa, ” ujar Kusnadi saat saya wawancarai di
ruangannya. “Jadi hampir semua keluarga-keluarga yang terlibat disektor
informal (seperti wiraswasta. Red) baik suami atau istri itu karena faktor
ekonomi sangat mendominasi dikehidupan mereka. Dan itu biasa, sangat wajar,”
tutupnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar